Merokok berkaitan erat dengan disabilitas dan penurunan kualitas hidup. Dalam sebuah penelitian di Jerman sejak tahun 1997-1999 yang melibatkan 4.181 responden, disimpulkan bahwa responden yang memilki ketergantungan nikotin memiliki kualitas hidup yang lebih buruk, dan hampir 50% dari responden perokok memiliki setidaknya satu jenis gangguan kejiwaan. Selain itu diketahui pula bahwa pasien gangguan jiwa cenderung lebih sering menjadi perokok, yaitu pada 50% penderita gangguan jiwa, 70% pasien maniakal yang berobat rawat jalan dan 90% dari pasien-pasien skizrofen yang berobat jalan.
Berdasaran penelitian dari CASA (Columbian
University`s National Center On Addiction and Substance Abuse), remaja perokok
memiliki risiko dua kali lipat mengalami gejala-gejala depresi dibandingkan
remaja yang tidak merokok. Para perokok aktif pun tampaknya lebih sering
mengalami serangan panik dari pada mereka yang tidak merokok Banyak penelitian
yang membuktikan bahwa merokok dan depresi merupakan suatu hubungan yang saling
berkaitan. Depresi menyebabkan seseorang merokok dan para perokok biasanya memiliki
gejala-gejala depresi dan kecemasan (ansietas).
Sebagian besar penderita depresi mengaku
pernah merokok di dalam hidupnya. Riwayat adanya depresi pun berkaitan dengan
ada tidaknya gejala putus obat (withdrawal)
terhadap nikotin saat seseorang memutuskan berhenti merokok. Sebanyak 75%
penderita depresi yang mencoba berhenti merokok mengalami gejala putus obat
tersebut. Hal ini tentunya berkaitan dengan meningkatnya angka kegagalan usaha
berhenti merokok dan relaps pada penderita depresi.
Selain itu, gejala putus zat nikotin mirip
dengan gejala depresi. Namun, dilaporkan bahwa gejala putus obat yang dialami
oleh pasien depresi lebih bersifat gejala fisik misalnya berkurangnya
konsentrasi, gangguan tidur, rasa lelah dan peningkatan berat badan).
Nikotin sebagai obat gangguan kejiwaan
Merokok sebagai salah satu bentuk terapi untuk gangguan kejiwaan masih menjadi
perdebatan yang kontroversial. Gangguan kejiwaan dapat menyebabkan seseorang
untuk merokok dan merokok dapat menyebabkan gangguan kejiwaan, walau jumlahnya
sangat sedikit, sekitar 70% perokok tidak memiliki gejala gangguan jiwa.
Secara umum merokok dapat menyebabkan
peningkatan konsentrasi, menekan rasa lapar, menekan kecemasan, dan depresi.
Dalam beberapa penelitian nikotin terbukti efektif untuk pengobatan depresi.
Pada dasarnya nikotin memberikan peluang yang menjanjikan untuk digunakan
sebagai obat psikoaktif. Namun nikotin memiliki terapheutic index yang sangat
sempit, sehingga rentang antara dosis yang tepat untuk terapi dan dosis yang
bersifat toksis sangatlah sempit.
Sehingga dipikirkan suatu bentuk pemberian
nikotin tidak dalam bentuk murni tetapi dalam bentuk analognya. Namun, kerangka
pemikiran pemberian nikotin sebagai obat tidaklah dalam bentuk kebiasaan
merokok. Seperti halnya morfin yang digunakan sebagai obat analgesik kuat
(penahan rasa sakit), pemberiannya harus dalam pengawasan dokter. Gawatnya,
saat ini nikotin bisa didapatkan dengan bebas dan mudah dalam sebatang rokok,
hal ini perlu diwaspadai karena kebiasaan merokok tidak lantas menjadi sebuah
pembenaran untuk pengobatan gejala gangguan kejiwaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar