Senin, 05 Desember 2011

ATEROSKLEROSIS

1.Proses Pembentukan Aterosklerosis.
Aterosklerosis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara aliran, molekul darah dan dinding vaskuler, yang meliputi proses patologis :
a.Inflamasi dengan peningkatan permiabilitas endotel, aktivitas endotel, dan rekrutmen monosit.
b.Per-tumbuhan dengan migrasi, proliferasi, dan sintesis matriks dari sel otot polos.
c.De-generasi dengan akumulasi lipid.
d.Nekrosis karena efek sitotoksik dari LDL-teroksidasi.

e.Kalsifikasi.
f.Trombosis dengan rekrutmen trombosis dan pemben-tukan fibrin.

Hipotesis William dan Tabas tentang response to retention menjelaskan proses awal terjadinya aterosklerosis. Lipoprotein plasma, terutama LDL adalah sumber akumulasi kolesterol di dinding arteri. Secara normal, lipoprotein dapat masuk maupun keluar dari dinding arteri melewati endotel melalui proses transitosis non-reseptor. Derajat masuknya lipoprotein ini ke dalam intima akan meningkat sebanding dengan konsentrasi lipoprotein dalam plasma, tekanan darah yang meningkat dan peningkatan permiabilitas dinding arteri. Transpor awal lipoprotein melalui endotel merupakan retensi selektif dan juga karena oksidasi lipoprotein di dinding arteri.

Mekanisme retensi LDL di dinding arteri dan kemudian menyebabkan aterosklerosis kemungkinan karena interaksinya dengan proteoglikan dari dinding arteri (APG). Lipoprotein yang mengandung apo-B dapat berinteraksi dengan APG. Ikatan ini memperpanjang waktu tinggal lipoprotein sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya oksidasi. Lipoprotein yang teroksidasi akan ditangkap oleh makrofag dan akumulasi lipid dalam makrofag menyebabkan terbentuknya sel busa. Faktor kunci disini adalah oksidasi lipoprotein. Pada tahap awal oksidasi fosfolipid dalam lipoprotein menghasilkan LDL yang termodifikasi minimal (mm LDL). Selanjutnya sel endotel dan sel otot polos mensekresi faktor kemotaktik seperti monocyte chemotactic protein 1 (MCP 1) dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF). Makrofag selain menangkap LDL tersoksidasi juga mensekresi faktor pertumbuhan, faktor kemotaktik dan sitokin, sehingga proses aterogenesis akan berlanjut.

Sebenarnya dinding arteri mempunyai mekanisme untuk mencegah oksidasi ini dan keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan sangat menentukan untuk perkembangan aterogenesis lebih lanjut. Oksida nitrit (NO) diketahui dapat mencegah oksidasi lipoprotein, merupakan anti-aterosklerotik endogenik.

Pada keadaan normal sel endotel akan memproduksi NO dalam jumlah yang cukup untuk menekan oksidasi LDL. NO dapat menghambat proses kunci pada perkembangan aterosklerosis, seperti adhesi monosit dan leukosit pada permukaan endotel, juga aktivasi dan agregasi trombosit. NO dapat menurunkan permiabilitas endotel , sehingga mengurangi masuknya lipoprotein ke dalam dinding arteri. NO juga dapat menghambat migrasi dan proliferasi sel otot polos. Pada keadaan hiperkolesterolemia, sintesis NO tetap normal, tetapi sebagian akan dimakan oleh radikal superoksida dan LDL-teroksidasi, menyebabkan LDL baru yang masuk tidak terproteksi terhadap oksidasi.

Mekanisme imun merupakan patogenesis yang penting pada aterosklerosis. Hipotesis response to injury oleh Russel Ross menunjukkan bahwa disfungsi endotel merupakan faktor sentral proses aterogenesis. Proses dimulai dengan beberapa pencetus yang mencederai dan mengaktifkan sel endotel. Faktor pencetus meliputi LDL-teroksidasi, shear stress pada dinding pembuluh darah, radikal bebas, infeksi dan hiperglikemia.

Sel endotel yang teraktivasi meningkatkan produksi 2 jenis molekul : kemokin dan molekul adhesi. Kemokin (MCP 1, interleukin 8, M-CSF dan macrophage antigen 1) menarik sel mononuklear (limfosit-T dan monocyte derived macrophage). Molekul adhesi (vascular cell adhesion molecule 1 : VCAM 1, intercellular adhesion molecule 1 : ICAM 1 dan selektin) membantu sel mononuklear berpindah ke dalam subendo-telium.

Dalam subendotelium, sel mononuklear memproduksi sitokin inflamasi (IL 1, IL 6 dan tumor necrosis factor alpha : TNF ) yang semakin meningkatkan ekspresi molekul adhesi. Mereka juga merangsang pertumbuhan plak melalui ekspresi matriks metaloproteinase (yang merangsang proliferasi sel otot polos) dan merangsang makrofag mengikat LDL dan mengubah diri menjadi sel busa.

Selanjutnya jejas endotelial mengikuti siklus yang mendorong lebih jauh proses aterogenesis. Lesi yang terbentuk disebut fatty streak. Pematangan fatty streak tergantung pada keseimbangan antara faktor sintetik dan proteolitik. Plak tumbuh bila sitokin inflamasi dan mitogen seperti faktor pertumbuhan fibroblas dan platelet-derived growth factor merangsang proliferasi sel otot polos. Sel otot polos tersebut selanjutnya mensekresi kolagen yang membentuk fibrous cap yang stabil. Plak yang stabil mempunyai fibrous cap yang lebih tebal, lebih banyak kolagen dan inti lipid yang lebih kecil dan keras. Adanya plak menyebabkan penyempitan lumen vaskuler, dengan manifestasi klinis berupa angina stabil, tetapi jarang menyebabkan komplikasi sindroma koroner akut.

Sebaliknya, sitokin inflamasi lainnya memperlemah fibrous cap : interferon gamma (dengan mengurangi produksi kolagen) dan IL 1 dan TNF  (dengan merangsang degradasi kolagen melalui matriks metaloproteinase). Proses penipisan membuat fibrous cap rentan terhadap retak atau ruptur, yang membuat atheromatous-core prokoagulan terpapar pada komponen darah sirkulasi. Plak yang tidak stabil ditandai dengan inti yang lebih kaya lipid dan lebih besar, dengan fibrous cap yang lebih tipis dan mengandung lebih sedikit kolagen, lebih sedikit sel otot polos dan lebih banyak makrofag dan limfosit-T.

Evaluasi patologi pada plak ruptur memperlihatkan predominan sel inflamasi (makrofag, limfosit-T) dan kurangnya sel otot polos. Paparan bahan prokoagulan seperti kolagen dan tromboksan-A2 menyebabkan aktivasi platelet dan aktivasi kaskade koagulasi dengan hasil trombosis koroner.

Sementara faktor koagulasi berperanan dalam evolusi pembentukan trombus, sitokin inflamasi selanjutnya menginduksi ekspresi P-selektin dan CD40 ligand pada permukaan platelet. Molekul-molekul ini mendorong adhesi antar platelet, endo-telium dan leukosit.

Inflamasi merupakan gambaran penting dari ateroma, dan berkaitan dengan aktivasi dan proliferasi makrofag, sel endotel dan sel otot polos, sitokin dan faktor pertumbuhan, aktivasi dan deposisi komplemen dan LDL-teroksidasi.

Inflamasi, infeksi dan kerusakan jaringan ditandai dengan peningkatan kadar reaktan fase akut. Reaktan ini terutama diproduksi oleh hepatosit dan dirangsang oleh sitokin yang dihasilkan dari makrofag yang teraktivasi. Beberapa petanda inflamasi telah diidentifikasi dan ternyata berhubungan dengan sindroma koroner akut Selama inflamasi kadar 2 protein fase akut yang paling sensitif, CRP dan SAA dapat meningkat sampai 10.000 kali. Kadar CRP berkorelasi langsung dengan adanya dan keparahan aterosklerosis koroner, serebral dan arteri perifer.

2.C-Reactive Protein.
CRP merupakan protein fase akut yang disintesa di hati sebagai reaksi terhadap inflamasi. CRP merupakan reaktan fase akut yang paling sensitif dan konsentrasinya meningkat dengan cepat selama proses inflamasi. CRP kompleks mengaktifkan sistem komplemen, selanjutnya memulai opsonisasi dan fagositosis sel yang menginvasi, namun fungsi utamanya yakni untuk mengikat dan detoksikasi bahan toksik endogen yang diproduksi oleh jaringan yang rusak.

Pemeriksaan CRP digunakan untuk mendeteksi proses inflamasi sistemik, menilai keberhasilan terapi antibiotik atas infeksi bakterial, diferensiasi bentuk aktif dan inaktif infeksi misalnya pada lupus eritematosus sistemik (SLE) atau kolitis ulserosa, evaluasi terapi demam rematik dan untuk menentukan adanya komplikasi tahap awal pasca operasi seperti infeksi, trombosis dan pneumonia.

Saat ini CRP digunakan untuk hal yang baru yakni sebagai petanda penyakit arteri koroner. Beberapa penelitian melaporkan bahwa protein fase akut ini merupakan faktor resiko kejadian kardiovaskular dan kematian pada berbagai populasi, baik pada orang sehat, pasien sindroma koroner akut dan pasien yang menjalani revaskularisasi perkutan atau bedah.

Penelitian-penelitian terakhir menyokong konsep bahwa CRP berperanan langsung dalam proses inflamasi dan tidak hanya sekedar suatu respon terhadap inflamasi. SAA dan fibrinogen memiliki peranan tambahan bila dikombinasi dengan CRP untuk stratifikasi risiko pasien sindroma koroner akut.

3.CRP Sebagai Petanda Inflamasi dan Penyakit Arteri Koroner
Petanda inflamasi fase akut tampaknya mempengaruhi prognosis pasca infark miokard akut (IMA). Pada IMA dengan elevasi segmen ST, kadar CRP mencapai puncak dalam 2 – 4 hari, selanjutnya menurun kembali. Kadar CRP tidak dipengaruhi oleh hormon atau obat anti inflamasi, namun hanya ditentukan oleh sitokin proinflamasi seperti interleukin 6. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kadar CRP memprediksi resiko kejadian ulangan pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST.

Pietila dkk dalam penelitian pada pasien yang memperoleh fibrinolitik melaporkan bahwa kadar puncak CRP berhubungan dengan risiko kematian dalam 6 bulan. Anzai dkk menemukan bahwa kadar puncak CRP lebih tinggi pada pasien yang mengalami komplikasi berat pasca IMA. Tommasi dkk melaporkan bahwa kadar CRP yang meningkat berhubungan dengan kejadian iskemia yang lebih tinggi.

Pada angina pektoris tidak stabil, kadar CRP saat datang yang meningkat berhubungan dengan hasil yang lebih buruk. Studi The European Concerted Action on Thrombosis and Disabilities Angina Pectoris (ECAT) menyatakan bahwa pasien angina pectoris stabil dengan kadar CRP > 0,36 mg/dl memiliki risiko kejadian koroner dalam 2 tahun meningkat dua kali lipat. Studi The Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) II A melaporkan bahwa peningkatan kadar CRP berhubungan dengan peningkatan mortalitas dua kali lipat, bahkan pada yang troponin T negatif.

Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa sedikit peningkatan kadar CRP dalam batas normal pada orang sehat tanpa penyakit arteri koroner memprediksi risiko kejadian koroner di masa akan datang. The Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT) melaporkan kenaikan mortalitas kardiak hampir tiga kali lipat pada laki-laki sehat (umumnya perokok) dengan kadar CRP tertinggi.

The Physicians’ Health Study menyatakan bahwa insiden IMA lebih tinggi pada laki-laki dengan kadar CRP tertinggi tanpa memandang status merokok. Studi The Monitoring Trends and Determinants in Cardivascular Disease (MONICA) juga melaporkan hal yang sama, risiko IMA meningkat hampir 50% dengan peningkatan kadar CRP.

Nilai klinis CRP tidak spesifik gender, namun perempuan memiliki kadar CRP lebih tinggi dibanding laki-laki. Dalam Women’s Health Study, perempuan yang mengalami kejadian kardiak memiliki kadar CRP 0,42 mg/dl dibanding 0.28 mg/dl pada yang tidak mengalami. Physicians’ Health Study melaporkan bahwa kadar CRP laki-laki dengan kejadian kardiak 0.15 mg/dl dibanding 0,11 mg/dl pada yang bebas kejadian.

CRP merupakan kandidat yang baik karena : 1) kadarnya stabil dalam jangka waktu lama, 2) kadarnya tidak dipengaruhi hal-hal lain selain inflamasi. 3) prediksinya bebas dari faktor risiko lain termasuk kadar lipid, 4) prediksinya menambah kekuatan faktor risiko lain pada aterosklerosis subklinis, 5) prediksi CRP untuk risiko PJK di kemudian hari juga berlaku pada individu usia pertengahan dan lanjut yang sehat, 6) metode pemeriksaan yang sensitif dan relatif murah tersedia, dengan material referensi dari WHO untuk standarisasi pemeriksaan.

Tidak ada komentar: