Sabtu, 04 Februari 2012

HALUSINASI

Menurut Isaacs (2002: 151) mengungkapkan bahwa halusinasi adalah persepsi sensori yang keliru dan melibatkan panca indera.
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, suatu penerapan panca indera tanpa ada rangsang dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indera tanpa stimulus eksternal atau persepsi palsu (Maramis, 2005: 106).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar dan dapat meliputi semua sistem panca indera saat kesadaran individu itu penuh atau baik (Depkes, 2000: 95).
Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “teresepsi”. Halusinasi dapat terjadi karena dasar-dasar organik fungsional, psikotik maupun histerik (Yosep, 2007: 79).

Halusinasi merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan) sedangkan klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada (Harnawatiaj, 2008).
Beberapa teori mengatakan bahwa halusinasi sering merupakan reaksi terhadap stress dan usaha dari alam tak sadar (unconcious) untuk melindungi egonya, atau pernyataan simbolik dari gangguan pikiran individu tersebut. Dalam perawatan klien yang berhalusinasi perlu diingat bahwa halusinasi betul-betul dianggap sebagai realitas oleh klien, sehingga tidak jarang ia menolak kenyataan atau realita yang ada di sekitarnya. Pada beberapa kasus klien menyadari bahwa dia mengalami halusinasi. Klien skizofrenia sering merasa takut dan panik jika mendengar suara-suara halusinasinya sehingga dia menyerang lingkungannya atau lari ketakutan, gelisah, cemas dan berteriak. Pada klien gangguan jiwa kronik sebagian besar tidak merasa terganggu oleh suara-suara halusinasinya sehingga dia menyerang lingkungannya atau lari ketakutan, gelisah, cemas, dan berteriak (Saseno, 2001: 380).
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001: 139) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda yaitu:
1.Fase I ( Comforting )
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut serta menerima untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Disini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
2.Fase II ( Condeming)
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
3.Fase III ( Controlling )
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Disini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
4.Fase III ( Conquering )
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi, disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang, kondisi klien sangat membahayakan.

Tidak ada komentar: