Rabu, 20 Juni 2012

UPAYA MERUBAH ANGGAPAN YANG SALAH TENTANG GANGGUAN JIWA DI MASYARAKAT (DESTIGMATISASI GANGGUAN JIWA)


A.    Stigma Gangguan Jiwa
Stigma adalah suatu usaha untuk label tertentu sebagai sekelompok orang yang kurang patut dihormati daripada yang lain (Sane Research, 2009). Masyarakat seringkali memiliki persepsi negatif terhadap kegilaan. Orang gila dianggap sebagai orang yang tidak waras, sinting dan ungkapan kasar lainnya. Menurut Irwanto, Phd, peneliti di Universitas Atma Jaya, Jakarta, "Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespon kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat ketidak tahuan publik. Terdapat logika yang salah di masyarakat. Mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu percepatan kesembuhan si penderita.
Masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan mental sebagai sampah sosial. Pola pikir demikian harus didekonstruksi" (Kompas, 27/09/04). Salah kaprah pengertian dan pemahaman penyakit jiwa ini mungkin karena ketidak tahuan masyarakat pada masalah-masalah kejiwaan dan kesehatan mental. Ketidak tahuan ini mengakibatkan persepsi yang keliru, bahwa penyakit mental merupakan aib bagi si penderita maupun bagi keluarganya. Sehingga si penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan oleh keluarganya.
Selain itu ada anggapan keliru di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa hanya mereka yang menghuni rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang berkeliaran di jalanan. Padahal gangguan jiwa bisa dialami oleh siapa saja, disadari atau tidak. Orang yang tampaknya sehat secara fisik, bukan tidak mungkin sebenarnya menderita gangguan jiwa, dalam kadar yang paling ringan seperti depresi misalnyaPersepsi masyarakat tersebut antara lain:
1.      Penyakit mental disebabkan oleh roh jahat. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat.
2.      Penyakit mental itu memalukan. Adanya persepsi masyarakat bahwa orang gila ataupun keluarganya akan menerima aib. Orang gila dan keluarganya sering dicemooh bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Adanya persepsi bahwa kegilaan adalah aib menyebabkan orang gila yang dianggap sembuh oleh dokter di rumah sakit jiwa tetap tidak dapat dipulangkan karena keluarga dan masyarakat tidak menginginkannya kembali.
3.      Penderita gangguan jiwa adalah sampah masyarakat yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota. Perlakuan-perlakuan masyarakat terhadap orang gila yaitu dengan memasung , memperlakukan dengan kasar, perlakuan kasar seringkali dilakukan oleh anak-anak dengan melempari batu dan mengejek, membuang orang gila tersebut ke daerah lainnya karena orang gila tersebut adalah sampah masyarakat, dan masyarakat menghardik orang gila tersebut dan pemerintah menyingkirkannya secara tidak manusiawi, hal ini karena dianggap sudah tidak dapat disembuhkan lagi dan dikwatirkan dapat menular.
Selama bertahun-tahun, banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun temurun dalam masyarakat kita. Penyakit mental masih menghasilkan kesalahpahaman, prasangka, kebingungan, dan ketakutan. Keadaan di Indonesia masih banyak ditemukan orang yang mengalami gangguan jiwa diperlakukan secara tidak pantas. Kalau kita melihat dari pelayanan kesehatan kita, bahwa bangsal-bangsal yang ada di rumah sakit umum, banyak yang belum ada bangsal jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya masyarakat awam saja yang melakukan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa, tetapi para profesional kesehatan pun secara tidak sadar melakukan stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa.

B.     Dampak Stigma Gangguan Jiwa
Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak langsung dapat merugikan penderita gngguan jiwa, keluarga penderita gangguan jiwa, dan masyarakat sekitar.
1.      Pada penderita gangguan jiwa
Persepsi masyarakat yang salah dapat menyebabkan penderita gangguan jiwa tersebut akan menerima siksaan dengan pemasungan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat. Kesembuhan pada penderita gangguan jiwa tersebut pun sangat kecil harapannya karena masyarakat malah menghina mereka alih-alih memberi perhatian dan kasih sayang untuk kesembuhan gangguan mental mereka. Setelah sembuh pun ada kemungkian penderita gangguan jiwa tersebut akan kembali menjadi kambuh, hal ini dikarenakan masyarakat tetap tidak menerima mantan penderita gangguan jiwa. Mereka tetap mempunyai persepsi negatif terhadap penderita gangguan jiwa, sehingga penderita gangguan jiwa tetap menjadi beban keluarganya ataupun masyarakat karena ketiadaan lapangan kerja yang mau menerima penderita gangguan jiwa untuk bekerja.
2.      Pada keluarga penderita penderita gangguan jiwa
Keluarga merasa malu atas anggota keluarganya yang gila bahkan adanya tekanan batin yang dialami keluarga karena cemoohan dan pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat.
3.      Pada masyarakat
Masyarakat mungkin saja akan mengalami kekerasan yang dilakukan orang gila atas perlakuan kasar yang mereka lakukan kepada orang gila tersebut. Persepsi masyarakat tersebut dapat pula menyebabkan perilaku imitasi yang akan dilakukan oleh anak-anak untuk menyakiti orang lain terutama orang gila dengan melakukan kekerasan secara fisik dan secara verbal.

     
C.    Penanganan Stigma di Masyarakat
Menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak mudah. Namun kita perlu untuk berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan di masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya. Penanganan stigma tersebut memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu dimasyarakat dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut.
 Sebenarnya apa sih bedanya orang yang sakit jiwa dengan orang yang sakit fisik? Sama-sama menderita sebenarnya! Bahkan derita jiwa jauh lebih berat dan menyiksa dibanding derita fisik yang paling berat sekalipun. Lalu adakah alasan yang logis dan rasional untuk merasa malu karena seseorang atau anggota keluarganya menderita kelainan jiwa? Sama sekali tidak ada! Tidak ada alasan untuk merasa malu karena menderita gangguan jiwa, ini hanya masalah persepsi.
Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi mental atau di rumah sakit jiwa, apalagi ditelantarkan di jalanan, tapi berada di tengah-tengah keluarganya, diantara orang-orang yang dicintai dan mencintainya.
Yang mereka butuhkan selain pengobatan medis adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat membantu proses pemulihan kondisi jiwanya
Beberapa kegiatan atau program yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma gangguan jiwa antara lain:
1.      Masyarakat ikut berperan aktif dalam kampanye tentang kesehatan jiwa. Kampanye tersebut dapat dimasukkan dalam kegiatan masyarakat melalui program desa siaga, FKD(Forum Kesehatan Desa)  pertemuan ditingkat RT maupun RW, perlu keaktifan masyarakat untuk mendapatkan akses/kesempatan seluas-luasnya secara akurat dan terbaru tentang kesehatan jiwa.
2.      Perlunya adanya pengetahuan tentang kesehatan jiwa sejak dini melalui sekolah-sekolah. Pendidikan tersebut dapat dilakukan atau dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah atau melalui kegiatan kurikuler.
3.      Keluarga ataupun masyarakat ikut terlibat dalam pelaksanaan tindakan terhadap pasien gangguan jiwa sehingga kesadaran keluarga dan masyarakat tentang cara pandang pada pasien gangguan jiwa dapat berubah dan dapat membantu menanganinya.
4.      Kepada individu tenaga kesehatan harus menunjukkan atau memberi contoh kepada masyarakat bahwa kita tidak melakukan stigma tersebut, harus menentang kesalahpahaman tentang gangguan jiwa dan menunjukkan fakta-fakta bahwa penyakit mental sangatlah umum dan dapat disembuhkan dengan management tindakan yang tepat
5.      Pemerintah ataupun lembaga swasta perlu memberikan kesempatan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya kepada orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ataupun orang-orang yang telah sembuh dari gangguan jiwa.




Tidak ada komentar: