1.
Definisi
Kenakalan remaja
biasa disebut dengan istilah juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis,
yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,
sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari
bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang
kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal,
pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya.
Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau
kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada
anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial,
sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah
kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang
tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal
(Kartono, 2006).
Mussen (1996) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai
perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak
remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa
maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1999) juga menyatakan kenakalan
remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana
tindakan tersebut dapat membuat seorang individu yang melakukannya masuk
penjara.
Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai
tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, kenakalan remaja
merupakan suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan mengganggu, baik
terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) menyatakan bahwa
kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang
tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.
Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
kenakalan remaja adalah kencenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang
melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap
dirinya maupun orang lain yang dilakukan remaja dibawah umur 17 tahun.
2.
Karakteristik
kenakalan remaja
Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai
karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal.
Perbedaan
itu mencakup:
a.
Perbedaan
struktur intelektual
Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan
inteligensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif
khusus yang berbeda biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi
untuk tugas-tugas prestasi dari pada nilai untuk keterampilan verbal (tes
Wechsler). Mereka kurang toleran terrhadap hal-hal yang ambigius biasanya
mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak
menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri
sendiri.
b.
Perubahan
fisik dan psikis
Remaja yang nakal ini memiliki perbedaan ciri
karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja
normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot kuat, dan pada umumnya
bersikap lebih agresif.
c.
Ciri
karakteristik individual
Menurut Kartono (2003), Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian
khusus yang menyimpang seperti:
1)
Rata-rata
remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan
puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.
2)
Kebanyakan
dari mereka terganggu secara emosional.
3)
Mereka
kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal
norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial.
4)
Mereka
senang ikut serta dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa
kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya resiko dan bahaya yang
terkandung di dalamnya.
5)
Pada
umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
6)
Hati
nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
7)
Kurang
memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan jahat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal
biasanya berbeda dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih
ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai kontrol diri
yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kemasakan
sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial.
3.
Bentuk
dan Aspek-Aspek Kenakalan Remaja
Menurut
kartono (2003) bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi menjadi empat,
yaitu:
a.
Kenakalan
terisolir (Delinkuensi terisolir)
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal.
Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal
mereka didorong oleh faktor-faktor berikut:
1)
Keinginan
meniru dan ingin bersama dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi, kecemasan
atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
2)
Mereka
kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki
subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang kriminal,
sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima, mendapatkan
kedudukan hebat, pengakuan dan prestasi tertentu.
3)
Pada
umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami
banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan
dasarnya ditengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal memberikan alternatif
hidup yang menyenangkan.
4)
Remaja
dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan
latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup
menginternalisasikan norma hidup normal.
Ringkasnya delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap
tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari
kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini
meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka menghentikan
perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan
dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa
yang memulai memasuki peran sosial yang baru.
b.
Kenakalan
neurotik (Delinkuensi neurotik)
Pada umunya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan
kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak
aman, merasa bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Menurut
Kartono (2003), Ciri-ciri
perilakunya adalah:
1)
Perilaku
nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan
hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang
kriminal itu saja.
2)
Perilaku
kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum
terselesaiakan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan,
kecemasan dan kebingungan batinya.
3)
Biasanya
remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis kejahatan
tertentu, misalnya suka memperkosa kemudian membunuh korbanya, kriminal
sekaligus neurotik.
4)
Remaja
nakal ini banyak berasal dari kalangan menengah, namun pada umumnya keluarga
mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya
biasanya juga neurotik atau psikotik.
5)
Remaja
memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan orang
dewasa atau anak-anak remaja lainya.
6)
Motif
kejahatannya berbeda-beda.
7)
Perilakunya
menunjukan kualitas kompulsif (paksaan)
Tingkah laku kenakalan neurotik berlangsung atas dasar
konflik jiwani yang serius atau mendalam sekali, maka mereka akan terus
melanjutkan tingkah laku kejahatanya sampai usia dewasa bahkan sampai umur tua.
c.
Kenakalan
psikotik (Delinkuensi psikopatik)
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari
kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling
berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah:
1)
Hampir
seluruh remaja Delinkuensi psikopatik
ini berasala dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal,
diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten
dan orangtuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak mempunyai
kapasitas untuk menumbuhkan efeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional
yang akrab dan baik dengan orang lain.
2)
Mereka
tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran.
3)
Bentuk
kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak
dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka
residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
4)
Mereka
selalu gagal dalam menyadari dan
menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli
terhadap norma subkultur gangnya sendiri.
5)
Kebanyakan
dari mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga menggurangi kemampuan untuk mengendalikan
diri sendiri.
Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik
sebagai berikut: tidak memiliki peengorganisasian dan integrasi diri, orangnya
tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan
norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu
menentang apa dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap
siapapun tanpa sebab.
d.
Kenakalan
defek moral (Delinkuensi defek moral)
Defek (defect,
defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi
defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun
pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada
inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak
mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu
mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan
kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu,
sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas
emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga
pembentukan super egonya sangat lemah. Implusnya tetap pada taraf primitif
sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan.
Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun
perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek
moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar perbaiki. Mereka adalah para
residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls
dan namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen
tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang
jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin
melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya
sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan
afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif
yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap
pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan.
Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering
disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi
penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan
kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif,
diantara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80% mengalami kerusakan
psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang
salah, jadi mereka menderita defek mental.
Hanya kurang dari 20% yang menjadi penjahat disebabkan
oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar.
Sarwono (2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat
bentuk yaitu:
a.
Kenakalan
yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan,
perampokan, pembunuhan dan lain-lain.
b.
Kenakalan
yang menimbulkan korban materi perusakan pencurian, pencopetan, pemerasan dan
lain-lain.
c.
Kenakalan
sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain: pelacuran,
penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas.
d.
Kenakalan
yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan
cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.
Hurlock (1999) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan
remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
a.
Perilaku
yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
b.
Perilaku
yang membahayakan hak milik orang lain, seperit merampas, mencuri dan mencopet.
c.
Perilaku
yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orangtua dan guru
seperti membolos, mengendarai kendaraan dengan tanpa surat izin, dan kabur dari
rumah.
d.
Perilaku
yang membahayakkan diri sendiri dan orang lain, seperti mengindarai motor
dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam.
Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat
disimpulkan bahwa semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi
dirinya sendiri dan orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Hurlock (1999)
& Sarwono (2002) berpendapat bahwa aspek perilaku yang melanggar aturan dan
status, perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, perilaku yang
mengakibatkan korban materi, dan perilaku yang mengakibatkan korban fisik.
4.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kenakalan remaja
Faktor-faktor kenakalan remaja
menurut Santrock (1996) lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:
a.
Identitas
Menurut teori perkembangan
yang dikemukakan oleh Santrock (1996) masa remaja ada pada tahap dimana krisis
identitas versus difusi identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial
memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada
kepribadian remaja, terbentuknya perasaan dan konsistensi
dalam kehidupanya dan tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara
menggabungkan motivasi, nilai-nilai, keemampuan dan gaya yang dimiliki remaja
dengan peran yang di tuntut dari remaja.
Erikson (1659) dalam
santrock (1996) percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan
kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan
aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa
balita, masa anak-anak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai
peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu
memenuhi tuntutan yang dibedakan pada mereka, mungkin akan memiliki
perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan
mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson (11659)
dalam Santrock (1996) kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu
identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
b.
Kontrol
diri
Kenakalan remaja
juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang
cukup dalam hal tingkah laku.
Beberapa anak gagal
dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain
selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara
tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima,
namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin
gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima, atau mungkin merasa sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara
keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan
perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka.
c.
Usia
Munculnya tingkah
laku anti sosial diusia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya
dimasa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini
nantinya akan menjadi pelaku kenakalan. Kartono (2003) menunjukan bahwa pada
usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku
kriminalnya. Paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perbuatanya pada usia
21 sampai 23 tahun.
d.
Jenis
kelamin
Remaja laki-laki
lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan. Menurut
cacatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang
melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat dari pada
gang remaja perempuan.
e.
Harapan
terhadap pendidikan dan nilai-nilai sekolah
Remaja yang menjadi
pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di
sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupanya
sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah dan
mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah.
f.
Proses
keluarga
Faktor keluarga
sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan
keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak,
kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua
dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.
g.
Pengaruh
teman sebaya
Memiliki
teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko remaja untuk
menjadi nakal.
h.
Kelas
sosial ekonomi
Ada kencenderungan
bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang
lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara daerah
perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak perlakuan
khusus diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan kurangnya
kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan keterampilan
yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan
mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan anti sosial.
Menjadi tangguh adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial
yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan
remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan
kenakalan.
i.
Kualitas
lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga
dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan
tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang
melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas
aktivitas kriminal mereka.
Masyarakat seperti
ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari
kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas
lingkungan yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang
juga berhubungan dengan kenakalan remaja.
Kartono (2003) berpendapat bahwa jenis kenakalan remaja
dikategorikan menjadi 4 jenis yaitu:
a.
Rendah
Berbohong, berkelahi dengan saudara kandung, mudah marah, tidak mau bekerja.
b.
Sedang
Suka
membantah, tidak suka diatur, pergi dari rumah, begadang, tidak betah dirumah, merokok, minum-minuman keras.
c.
Tinggi
Berjudi, melihat gambar-gambar porno,
nonton film porno, tidak memperhatikan guru sedang mengajar.
d.
Sangat
tinggi
Senang membuat masalah,
bolos sekolah, berkelahi dengan teman,
tawuran antar sekolah,
meminta barang orang lain dengan paksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar