Kematian
maternal merupakan salah satu masalah kesehatan yang terus menjadi perhatian
masyarakat dunia. Memasuki
abad ke dua puluh satu, 189 negara menyerukan Millennium Declaration dan
menyepakati Millennium Development Goals. Salah satu tujuan pembangunan Millennium
Development Goals (MDG) 2015 adalah perbaikan kesehatan maternal. Kematian
maternal dijadikan ukuran keberhasilan terhadap pencapaian tujuan tersebut. Akses
dan kualitas pelayanan, memerangi kemiskinan, pendidikan dan pemberdayaan
perempuan atau perimbangan gender menjadi persoalan penting untuk dikelola dan
diwujudkan. MDG menempatkan kematian maternal sebagai prioritas utama yang
harus ditanggulangi melalui upaya sistematik dan tindakan yang nyata untuk meminimalisasi
risiko kematian, menjamin reproduksi sehat dan meningkatkan kualitas hidup ibu
atau kaum perempuan (Adriaansz, 2005).
Angka
Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan
perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah
ditentukan dalam tujuan ke 5 pembangunan millenium yaitu meningkatkan kesehatan
ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai
¾ risiko jumlah kematian ibu. Dari hasil survei yang dilakukan, AKI telah
menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk
mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan
usaha keras yang terus menerus (SDKI, 2007).
Di Indonesia Angka Kematian Ibu merupakan salah satu indikator
pembangunan kesehatan dasar yang masih memprihatinkan karena saat ini
masih merupakan yang tertinggi dibandingkan AKI dengan negara-negara ASEAN
lainnya. Kematian perempuan usia subur disebabkan
masalah terkait kehamilan, persalinan, dan nifas akibat perdarahan. Menurut
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka Kematian Ibu
228 per 100.000 kelahiran hidup. Tahun 2008, 4.692 ibu meninggal pada masa
kehamilan, persalinan, dan nifas (Kompas, 2010).
Rendahnya
kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus
diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi
lantaran indikasi yang lazim muncul yaitu perdarahan (28%), eklampsia (24%),
infeksi (11%), aborsi (5%), partus lama (5%), emboli obst (3%), komplikasi masa
puerpureum (8%), dan lain-lain (11%). Namun,
ternyata masih ada faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan
perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi
keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh
(Departemen Kesehatan, 2007).
Perdarahan
menempati persentase tertinggi penyebab
kematian ibu (28%). Anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil
menjadi penyebab utama terjadinya perdarahan dan infeksi yang merupakan faktor
kematian utama ibu. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang lebih
10% sampai hampir 60% (WHO, 2007).
Perdarahan
post partum diklasifikasikan menjadi 2 yaitu perdarahan post partum primer /
dini (early postpartum hemarrhage), yaitu perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam pertama, banyaknya terjadi pada 2 jam pertama dan perdarahan post
partum sekunder / lambat ( late postpartum hemorrhage), yaitu perdarahan
yang terjadi setelah 24 jam pertama. Kejadian perdarahan post partum primer
lebih banyak menyebabkan kematian ibu pada masa post partum.
Perdarahan post partum primer adalah
perdarahan lebih dari 500 ml selama 24 jam setelah anak lahir (Wiknjosastro,
2006). Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang
terjadi karena tercampur dengan air ketuban dan serapan pakaian atau kain alas
tidur. Oleh sebab itu maka batasan operasional untuk periode pascapersalinan
adalah setelah bayi lahir. Jumlah perdarahan, disebutkan sebagai perdarahan
yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital ( pasien
mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, sistolik
< 90 mmHg, nadi > 100x/ menit, kadar Hb <8 g%) ( Saifuddin, 2006).
Anemia
dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11 gr% pada
trimester 1 dan 3 atau kadar kurang dari 10,5 gr% pada trimester 2. Nilai batas tersebut dan perbedaanya dengan kondisi
wanita yang tidak hamil terjadi karena hemodilusi, terutama pada trimester 2. Di
Indonesia ibu hamil anemia relatif tinggi yaitu 63,5% dan menurut WHO 40%
kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan,
padahal 90% dari kematian itu dapat dicegah. Kebanyakan anemia dalam kehamilan
disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang
keduanya saling berinteraksi (Saifuddin, 2002). Anemia pada trimester 3 lebih
berpengaruh pada persalinan, karena rentang jarak dengan persalinan lebih
pendek dan untuk perbaikan gizi lebih sulit. Jika anemia terjadi pada trimester
1, perbaikan-perbaikan gizi dan pemberian sulfat ferosus akan lebih terkontrol,
sehingga anemia dapat teratasi saat menuju ke proses persalinan. Pada trimester
2, anemia merupakan proses yang fisiologi dalam kehamilan karena adanya hemodilusi.
Akibat anemia bisa berbeda-beda pada
setiap tahap kehidupan. Pada anak, anemia bisa menghambat pertumbuhan fisik dan
mentalnya. Pada masa remaja atau dewasa, anemia bisa menurunkan kemampuan dan
konsentrasi serta gairah untuk beraktivitas. Sementara pada wanita hamil,
anemia menyebabkan risiko perdarahan sebelum atau saat melahirkan. (Muhammad,
2002). Anemia dalam kehamilan
dapat berpengaruh buruk terutama saat kehamilan, persalinan dan nifas (Manuaba,
2009).
Anemia menyebabkan jumlah oksigen yang
diikat dan dibawa hemoglobin berkurang, sehingga tidak dapat memenuhi keperluan
jaringan. Beberapa organ dan proses memerlukan oksigen dalam jumlah besar. Bila
jumlah oksigen yang dipasok berkurang maka kinerja organ yang bersangkutan akan
menurun, sedangkan kelancaran proses tertentu akan terganggu. Anemia
dapat menyebabkan perdarahan karena efektif sel darah merah berkurang karena Hb
menurun, padahal fungsi Hb adalah mengikat oksigen untuk di kirimkan ke organ-organ
vital seperti otak dan seluruh tubuh, dengan demikian pengiriman oksigen pun
menurun, hal ini menyebabkan efek buruk begitu juga uterus. Otot uterus tidak berkontraksi
adekuat / atonia uteri sehingga terjadi perdarahan post partum. Atonia ini
disebabkan karena pembuluh darah plasenta berada di antara otot, seharusnya kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan
pembuluh- pembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya tertutup, kemudian
pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah (Wilson, 2002).
Data
Survey Kesehatan Daerah Jawa Tengah menunjukan angka
kematian ibu hamil pada 2008 berjumlah 114 kematian per 100.000 kelahiran,
sedangkan pada 2009 naik menjadi 117 kematian per 100.000 kelahiran. Kematian ibu hamil antara lain disebabkan perdarahan,
usia ibu hamil yang terlalu tua atau terlalu muda, terlalu sering melahirkan,
dan penanganan medis yang terlambat (JogloSemar, 2010). Meningkatnya AKI
dipengaruhi adanya keterlambatan deteksi, terlambat merujuk serta terlambat
ditempat pelayanan. Karena itu pengetahuan tentang reproduksi serta kehamilan
yang sehat ungkapnya, terus dilakukan untuk menekan angka kematian (Suara
Merdeka, 2010).
Sementara Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Semarang
mengalami kenaikan sebesar 34,77% di mana tahun 2003 menunjukkan angka 92,9 per
100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 125,2 per 100.000
kelahiran hidup. Namun angka ini mengalami penurunan pada tahun 2005 hingga
mencapai 114,98 per 100.000 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar