Selasa, 26 November 2013

ANGKA KEMATIAN IBU

Kematian maternal merupakan salah satu masalah kesehatan yang terus menjadi perhatian masyarakat dunia. Memasuki abad ke dua puluh satu, 189 negara menyerukan Millennium Declaration dan menyepakati Millennium Development Goals. Salah satu tujuan pembangunan Millennium Development Goals (MDG) 2015 adalah perbaikan kesehatan maternal. Kematian maternal dijadikan ukuran keberhasilan terhadap pencapaian tujuan tersebut. Akses dan kualitas pelayanan, memerangi kemiskinan, pendidikan dan pemberdayaan perempuan atau perimbangan gender menjadi persoalan penting untuk dikelola dan diwujudkan. MDG menempatkan kematian maternal sebagai prioritas utama yang harus ditanggulangi melalui upaya sistematik dan tindakan yang nyata untuk meminimalisasi risiko kematian, menjamin reproduksi sehat dan meningkatkan kualitas hidup ibu atau kaum perempuan (Adriaansz, 2005).
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan ke 5 pembangunan millenium yaitu meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ risiko jumlah kematian ibu. Dari hasil survei yang dilakukan, AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus (SDKI, 2007).
Di Indonesia Angka Kematian Ibu merupakan salah satu indikator pembangunan kesehatan dasar yang masih memprihatinkan karena saat ini masih merupakan yang tertinggi dibandingkan AKI dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kematian perempuan usia subur disebabkan masalah terkait kehamilan, persalinan, dan nifas akibat perdarahan. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka Kematian Ibu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Tahun 2008, 4.692 ibu meninggal pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas (Kompas, 2010).
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul yaitu perdarahan (28%), eklampsia (24%), infeksi (11%), aborsi (5%), partus lama (5%), emboli obst (3%), komplikasi masa puerpureum (8%), dan lain-lain (11%). Namun, ternyata masih ada faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh (Departemen Kesehatan, 2007).
Perdarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%). Anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya perdarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang lebih 10% sampai hampir 60% (WHO, 2007).
Perdarahan post partum diklasifikasikan menjadi 2 yaitu perdarahan post partum primer / dini  (early postpartum hemarrhage), yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama, banyaknya terjadi pada 2 jam pertama dan perdarahan post partum sekunder / lambat ( late postpartum hemorrhage), yaitu perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama. Kejadian perdarahan post partum primer lebih banyak menyebabkan kematian ibu pada masa post partum.
Perdarahan post partum primer adalah perdarahan lebih dari 500 ml selama 24 jam setelah anak lahir (Wiknjosastro, 2006). Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi karena tercampur dengan air ketuban dan serapan pakaian atau kain alas tidur. Oleh sebab itu maka batasan operasional untuk periode pascapersalinan adalah setelah bayi lahir. Jumlah perdarahan, disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital ( pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, sistolik < 90 mmHg, nadi > 100x/ menit, kadar Hb <8 g%) ( Saifuddin, 2006).
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester 1 dan 3 atau kadar kurang dari 10,5 gr% pada trimester 2. Nilai batas tersebut dan perbedaanya dengan kondisi wanita yang tidak hamil terjadi karena hemodilusi, terutama pada trimester 2. Di Indonesia ibu hamil anemia relatif tinggi yaitu 63,5% dan menurut WHO 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan, padahal 90% dari kematian itu dapat dicegah. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi (Saifuddin, 2002). Anemia pada trimester 3 lebih berpengaruh pada persalinan, karena rentang jarak dengan persalinan lebih pendek dan untuk perbaikan gizi lebih sulit. Jika anemia terjadi pada trimester 1, perbaikan-perbaikan gizi dan pemberian sulfat ferosus akan lebih terkontrol, sehingga anemia dapat teratasi saat menuju ke proses persalinan. Pada trimester 2, anemia merupakan proses yang fisiologi dalam kehamilan karena adanya hemodilusi.
Akibat anemia bisa berbeda-beda pada setiap tahap kehidupan. Pada anak, anemia bisa menghambat pertumbuhan fisik dan mentalnya. Pada masa remaja atau dewasa, anemia bisa menurunkan kemampuan dan konsentrasi serta gairah untuk beraktivitas. Sementara pada wanita hamil, anemia menyebabkan risiko perdarahan sebelum atau saat melahirkan. (Muhammad, 2002). Anemia dalam kehamilan dapat berpengaruh buruk terutama saat kehamilan, persalinan dan nifas (Manuaba, 2009).
Anemia menyebabkan jumlah oksigen yang diikat dan dibawa hemoglobin berkurang, sehingga tidak dapat memenuhi keperluan jaringan. Beberapa organ dan proses memerlukan oksigen dalam jumlah besar. Bila jumlah oksigen yang dipasok berkurang maka kinerja organ yang bersangkutan akan menurun, sedangkan kelancaran proses tertentu akan terganggu. Anemia dapat menyebabkan perdarahan karena efektif sel darah merah berkurang karena Hb menurun, padahal fungsi Hb adalah mengikat oksigen untuk di kirimkan ke organ-organ vital seperti otak dan seluruh tubuh, dengan demikian pengiriman oksigen pun menurun, hal ini menyebabkan efek buruk begitu juga uterus. Otot uterus tidak berkontraksi adekuat / atonia uteri sehingga terjadi perdarahan post partum. Atonia ini disebabkan karena pembuluh darah plasenta berada di antara otot, seharusnya kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pembuluh- pembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya tertutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah (Wilson, 2002).
Data Survey Kesehatan Daerah Jawa Tengah menunjukan angka kematian ibu hamil pada 2008 berjumlah 114 kematian per 100.000 kelahiran, sedangkan pada 2009 naik menjadi 117 kematian per 100.000 kelahiran. Kematian ibu hamil antara lain disebabkan perdarahan, usia ibu hamil yang terlalu tua atau terlalu muda, terlalu sering melahirkan, dan penanganan medis yang terlambat (JogloSemar, 2010). Meningkatnya AKI dipengaruhi adanya keterlambatan deteksi, terlambat merujuk serta terlambat ditempat pelayanan. Karena itu pengetahuan tentang reproduksi serta kehamilan yang sehat ungkapnya, terus dilakukan untuk menekan angka kematian (Suara Merdeka, 2010).
Sementara Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Semarang mengalami kenaikan sebesar 34,77% di mana tahun 2003 menunjukkan angka 92,9 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 125,2 per 100.000 kelahiran hidup. Namun angka ini mengalami penurunan pada tahun 2005 hingga mencapai 114,98 per 100.000 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang, 2005).

Tidak ada komentar: