Minggu, 08 Februari 2015

SCREENING ATAU UJI TAPIS

A.     Definisi
Mausner dan Bahn, mengungkapkan bahwa pengertian skrining menurut Commision Chronic Illness tahun 1951:
“......Merupakan identifikasi awal terhadap penyakit dan penurunan fungsi tubuh yang belum nampak tanda dan gejalanya dengan beberapa uji, pemeriksaan, dan prosedur lainnya yang dapat digunakan secara cepat dan dari hasil yang akan muncul digunakan untuk membedakan antara orang yang mempunyai kemungkinan sakit dengan orang yang tidak sakit. Skrining test bukan merupakan pemeriksaan diagnostik, sehingga orang yang hasil pemeriksaan skriningnya positif, harus dirujuk untuk melakukan pemeriksaan dan perawatan lebih lanjut”.
Pemeriksaan skrining dilakukan  pada orang yang tampaknya sehat dan belum menunjukkan gejala penyakit yang nyata, namun merupakan kelompok risiko yang mempunyai kemungkinan untuk terkena penyakit.
Hasil pemeriksaan skrining yang menunjukkan nilai positif akan  dilanjutkan dengan pemeriksaan diagnosis untuk memastikan bahwa kelompok tersebut benar-benar terinfeksi dan membutuhkan pengobatan. Namun jika menunjukkan nilai negatif, maka diperlukan adanya pemantauan secara rutin melalui skrining selanjutnya. Pada pemeriksaan diagnostik yang hasilnya negatif, kelompok tidak dinyatakan menderita penyakit, dan tetap harus mendapatkan pemantauan rutin.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pemeriksaan skrining dapat digunakan sebagai alternatif pencegahan penyakit jika usaha pencegahan secara primer tidak dapat tercapai secara maksimal.
Beberapa kriteria dari test skrining adalah :
1.      Test skrining dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan dengan biaya yang terjangkau.
2.      Nilai validitas, reliabilitas dan nilai hasil yang cukup tinggi. Pengertian validitas menyangkut masalah ‘sensitivitas’ dan ‘spesifitas’ dari test. Sensitivitas adalah kemampuan test yang digunakan untuk mengidentifikasi secara tepat orang yang benar-benar sakit, dan spesifisitas kemampuan test yang digunakan benar-benar mampu untuk mengidentifikasi orang yang benar-benar tidak sakit. Sedang reliabilitas berhubungan dengan konsistensi atau keajegan dari hasil test, dan ‘yield’ atau ‘hasil’ berhubungan dengan kemampuan untuk mengenali kasus yang awalnya tidak diketahui, kemudian berhasil dideteksi.
3.      Test tersebut dapat diterima oleh masyarakat.
4.      Tidak membahayakan bagi pemeriksa maupun yang diperiksa.

B.     Pemeriksaan Skrining IMS
Pelaksanaan skrining IMS dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya :
1.      Mass Screening, merupakan test skrining yang dilakukan secara massal atau untuk masyarakat umum, tanpa kriteria atau kemungkinan pemaparan pada suatu ‘penyebab’ tertentu. Biaya yang dibutuhkan biasanya mahal dan tingkat efisiensinya rendah, berkaitan dengan jumlah orang yang akan ditest.
2.      Selective screening. Sasaran dilakukannya test skrining adalah pada kelompok khusus yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit. Dalam hal ini dicontohkan berupa skrining yang dilakukan pada para WPS di Lokalisasi untuk mengidentifikasi adanya IMS (HIV/AIDs).
3.      Multi-phasic screening atau pemeriksaan secara bertahap atau lebih lanjut, karena ciri pada penyakit yang berhubungan memerlukan pemeriksaan lanjutan baik berupa pemeriksaan diagnostik maupun untuk tujuan terapi klinis yang lebih spesialistis misalnya pada penyakit degeneratif.
Pemeriksaan klinis yang dilakukan untuk mendetesi adanya IMS biasanya ditekankan pada pemeriksaan genital dan organ-organ yang berhubungan. Pemeriksaan ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut :
a.       Anamnesis merupakan upaya untuk mendapatkan informasi mengenai riwayat kesehatan. Pertanyaan yang diajukan diantaranya meliputi keluhan dan riwayat penyakit saat ini, keadaan umum yang dirasakan, pengobatan yang telah dilakukan, riwayat seksual mengenai kontak dengan pasangan sesudah atau sebelum terdapat tanda abnormal, frekuensi berhubugan seksual, cara melakukan hubungan seksual, dan apakah pasangan merasakan gejala yang sama atau dicurigai memiliki riwayat IMS sebelumnya, dan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit genital lain, riwayat keluarga yang terkena IMS, keluhan lain yang berhubungan dengan komplikasi, serta ditanyakan pula adanya riwayat alergi terhadap obet tertentu.
b.      Pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik, dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu tentang kerahasiaan pasien dan sumber cahaya yang baik. Teknik pemeriksaan yang digunakan adalah dengan inspeksi dan palpasi.
c.       Pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboraturium. Bahan yang dimaksud digunakan untuk uji laboraturium, memastikan adanya agen infeksi. Pada pria, bahan yang diambil adalah duh tubuh uretra, sedang pada wanita bahan yang diambil adalah cairan vagina,  selain itu, juga dilakukan pemeriksaan pada darah, dan mukosa pada tenggorok.

Daftar Pustaka
Daili,dkk. 2003. Penyakit menular seksual, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Mawardi, H. 1990. Penyakit menular seksual. Jakarta: Gramedia
Sutantri.1987. Buku pedoman diagnosis dan penyakit kelamin Mc Lachlan. Indonesia: Yayasan Essentia Medica
Phiel Evelyn J.1995. Penyakit hubungan seksual. In: Price Sylvia Anderson, Wilson Lorraine M. editor. Patofisiolog-konsep klinis proses-proses penyakit 2. ed 4. Jakarta: EGC
Budioro.200. Pengantar epidemiologi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Judith dan Shira.1995. Mausner & bahn epidemiology-an introductory text. Philadelphia: Saunders Company
Eko, B.2003. Pengantar Epidemiologi, ed. 2. Jakarta: EGC

Tidak ada komentar: