A. Definisi
Mausner dan Bahn,
mengungkapkan bahwa pengertian skrining menurut Commision Chronic Illness tahun
1951:
“......Merupakan
identifikasi awal terhadap penyakit dan penurunan fungsi tubuh yang belum
nampak tanda dan gejalanya dengan beberapa uji, pemeriksaan, dan prosedur
lainnya yang dapat digunakan secara cepat dan dari hasil yang akan muncul
digunakan untuk membedakan antara orang yang mempunyai kemungkinan sakit dengan
orang yang tidak sakit. Skrining test bukan merupakan pemeriksaan diagnostik,
sehingga orang yang hasil pemeriksaan skriningnya positif, harus dirujuk untuk
melakukan pemeriksaan dan perawatan lebih lanjut”.
Pemeriksaan skrining
dilakukan pada orang yang tampaknya
sehat dan belum menunjukkan gejala penyakit yang nyata, namun merupakan
kelompok risiko yang mempunyai kemungkinan untuk terkena penyakit.
Hasil pemeriksaan skrining
yang menunjukkan nilai positif akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan diagnosis untuk memastikan bahwa kelompok
tersebut benar-benar terinfeksi dan membutuhkan pengobatan. Namun jika
menunjukkan nilai negatif, maka diperlukan adanya pemantauan secara rutin
melalui skrining selanjutnya. Pada pemeriksaan diagnostik yang hasilnya
negatif, kelompok tidak dinyatakan menderita penyakit, dan tetap harus
mendapatkan pemantauan rutin.
Kesimpulan yang dapat
diambil adalah bahwa pemeriksaan skrining dapat digunakan sebagai alternatif pencegahan
penyakit jika usaha pencegahan secara primer tidak dapat tercapai secara
maksimal.
Beberapa kriteria dari test
skrining adalah :
1.
Test
skrining dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan dengan biaya yang terjangkau.
2.
Nilai
validitas, reliabilitas dan nilai hasil yang cukup tinggi. Pengertian validitas
menyangkut masalah ‘sensitivitas’ dan ‘spesifitas’ dari test. Sensitivitas
adalah kemampuan test yang digunakan untuk mengidentifikasi secara tepat orang
yang benar-benar sakit, dan spesifisitas kemampuan test yang digunakan
benar-benar mampu untuk mengidentifikasi orang yang benar-benar tidak sakit.
Sedang reliabilitas berhubungan dengan konsistensi atau keajegan dari hasil
test, dan ‘yield’ atau ‘hasil’ berhubungan dengan kemampuan untuk mengenali
kasus yang awalnya tidak diketahui, kemudian berhasil dideteksi.
3.
Test
tersebut dapat diterima oleh masyarakat.
4.
Tidak
membahayakan bagi pemeriksa maupun yang diperiksa.
B. Pemeriksaan Skrining IMS
Pelaksanaan skrining IMS
dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya :
1.
Mass Screening, merupakan test skrining yang dilakukan secara
massal atau untuk masyarakat umum, tanpa kriteria atau kemungkinan pemaparan
pada suatu ‘penyebab’ tertentu. Biaya yang dibutuhkan biasanya mahal dan
tingkat efisiensinya rendah, berkaitan dengan jumlah orang yang akan ditest.
2.
Selective screening. Sasaran dilakukannya test skrining
adalah pada kelompok khusus yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit. Dalam
hal ini dicontohkan berupa skrining yang dilakukan pada para WPS di Lokalisasi untuk
mengidentifikasi adanya IMS (HIV/AIDs).
3.
Multi-phasic screening atau pemeriksaan secara bertahap atau
lebih lanjut, karena ciri pada penyakit yang berhubungan memerlukan pemeriksaan
lanjutan baik berupa pemeriksaan diagnostik maupun untuk tujuan terapi klinis
yang lebih spesialistis misalnya pada penyakit degeneratif.
Pemeriksaan klinis yang
dilakukan untuk mendetesi adanya IMS biasanya ditekankan pada pemeriksaan
genital dan organ-organ yang berhubungan. Pemeriksaan ini meliputi tahap-tahap
sebagai berikut :
a.
Anamnesis merupakan upaya untuk mendapatkan informasi
mengenai riwayat kesehatan. Pertanyaan yang diajukan diantaranya meliputi
keluhan dan riwayat penyakit saat ini, keadaan umum yang dirasakan, pengobatan
yang telah dilakukan, riwayat seksual mengenai kontak dengan pasangan sesudah
atau sebelum terdapat tanda abnormal, frekuensi berhubugan seksual, cara
melakukan hubungan seksual, dan apakah pasangan merasakan gejala yang sama atau
dicurigai memiliki riwayat IMS sebelumnya, dan riwayat penyakit dahulu yang
berhubungan dengan IMS atau penyakit genital lain, riwayat keluarga yang
terkena IMS, keluhan lain yang berhubungan dengan komplikasi, serta ditanyakan
pula adanya riwayat alergi terhadap obet tertentu.
b.
Pemeriksaan
fisik. Pada pemeriksaan fisik, dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu
tentang kerahasiaan pasien dan sumber cahaya yang baik. Teknik pemeriksaan yang
digunakan adalah dengan inspeksi dan palpasi.
c.
Pengambilan
bahan untuk pemeriksaan laboraturium. Bahan yang dimaksud digunakan untuk uji
laboraturium, memastikan adanya agen infeksi. Pada pria, bahan yang diambil
adalah duh tubuh uretra, sedang pada wanita bahan yang diambil adalah cairan
vagina, selain itu, juga dilakukan
pemeriksaan pada darah, dan mukosa pada tenggorok.
Daftar Pustaka
Daili,dkk. 2003. Penyakit menular seksual, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Mawardi, H. 1990. Penyakit menular seksual. Jakarta: Gramedia
Sutantri.1987. Buku pedoman diagnosis
dan penyakit kelamin Mc Lachlan. Indonesia: Yayasan Essentia Medica
Phiel Evelyn J.1995. Penyakit hubungan seksual. In:
Price Sylvia Anderson, Wilson Lorraine M. editor. Patofisiolog-konsep klinis proses-proses penyakit 2. ed 4. Jakarta:
EGC
Budioro.200. Pengantar epidemiologi. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro
Judith dan Shira.1995. Mausner & bahn epidemiology-an introductory text. Philadelphia:
Saunders Company
Eko, B.2003. Pengantar
Epidemiologi, ed. 2.
Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar