Senin, 06 Februari 2012

HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI UMUR 0 – 6 BULAN

Angka kematian bayi dan balita di Indonesia, 50 dari 1.000 bayi meninggal sebelum menginjak usia 5 tahun. Berbagai macam penyakit muncul sebagai penyebab. Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) menduduki peringkat pertama, kedua adalah diare. Tingkat kematian balita akibat diare mencapai 100.000 jiwa per-tahun. Diperkirakan angka kesakitan berkisar antara 150-430 perseribu penduduk setahunnya. Pada tahun 2005, tercatat kejadian luar biasa diare di 11 provinsi di daerah Indonesia. Penyakit diare hingga kini masih merupakan salah satu penyakit utama pada bayi dan anak di Indonesia. Dengan upaya yang sekarang telah dilaksanakan, angka kematian masih dapat ditekan menjadi kurang dari 3% (Hassan, 2005).

Pemberian makanan tambahan dimulai pada umur yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Pada segolongan masyarakat, hal ini tidak dilakukan sebelum bayi menginjak umur enam bulan, dan dapat berlangsung sampai anak berumur lebih dari dua tahun, atau kadang-kadang sampai empat tahun. Tetapi pada golongan masyarakat lain, hal ini sering kali dilakukan lebih awal. Makanan pendamping ASI diberikan waktu bayi masih berumur beberapa minggu. Bila makanan tersebut bernilai gizi rendah dan disiapkan dengan cara yang tidak higienis, sering kali membawa akibat terjadinya infeksi, kurang gizi atau marasmus pada bayi (Muchtadi, 2002).
ASI mengandung kolostrum, Imunoglobulin A (Ig A), laktoferin, dan sel-sel darah putih, yang kesemuanya sangat penting untuk pertahanan tubuh bayi terhadap serangan penyakit (infeksi), lebih sedikit mengandung lemak yang banyak mengandung polyunsaturated fatty acid (asam lemak tak jenuh ganda) dan laktosa, lebih banyak mengandung vitamin A, dan lebih banyak mengandung mineral-mineral natrium (Na) dan seng (Zn). Kolostrum ialah ASI yang keluar pertama kali, berwarna jernih kekuningan, dan kaya akan zat antibodi seperti: faktor bifidus yang merupakan pemacu pertumbuhan Lactobacillus bifidus,bakteri yang dianggap dapat mengganggu kolonisasi bakteri patogen didalam saluran cerna, Secretory Immunoglobulin A (SigA) berkemampuan mengikat protein asing bermolekuler seperti virus dan bakteri, immunoglobulin M, Immunoglobulin G, Laktoferin, laktoperoksidase, interferon, lisozim, protein pengikat B12, limfosit, makrofag, faktor lipid, asam lemak, dan monogliserida (Arisman, 2007; Muchtadi, 2002).

Di beberapa tempat (budaya), pemberian air susu dihentikan mana kala ibu hamil, atau merasa telah hamil lagi. Perpisahan ini akan terasa semakin serius jika bayi dititipkan pada nenek atau keluarga lain. Dampak psikologis serta pengaruh gizi akibat perlakuan ini akan sangat berbahaya. Insiden penyakit infeksi, terutama diare, lebih tinggi saat pada saat ini daripada periode lain kehidupan. Hal itu karena makanan berubah, dari ASI yang bersih dan mengandung zat-zat anti infeksi antara lain: Immunoglobulin A (IgA), laktoferin yang merupakan pengikat zat besi yang dapat digunakan oleh bakteri untuk bertumbuh kembang, ke makanan yang disiapkan, disimpan, dan dimakan tanpa mengindahkan syarat kebersihan (kesehatan) (Arisman, 2007).

Sistem saluran cerna bayi khususnya usia 0-6 bulan belum berkembang sempurna sehingga hanya mampu mencerna susu. Namun begitu bayi menginjak usia 6 bulan keatas, bayi harus memperkenalkan makanan padat untuk kebutuhan perkembangan anak. Pada periode pemberian makanan pendamping ASI, yaitu mengenalkan makanan padat pada buah hati sesuai usianya yang mengandung zat-zat yang dibutuhkannya untuk tumbuh kembang optimal. Seiring bertambahnya usia bayi, rawan muncul gangguan pencernaan seperti diare atau sebaliknya, sembelit. WHO mencatat bahwa diare salah satu faktor risiko terbesar dalam kesehatan yang menyebabkan terjadinya 1 dari 5 kematian balita di negara berkembang, termasuk Indonesia (Lindwall dan Chandra, 2007).

Kecukupan gizi merupakan salah satu faktor lingkungan yang berperan besar dalam proses tumbuh kembang sistem syaraf dan otak serta tingkat kecerdasan bayi. Pada proses tumbuh kembang itu sangat ditentukan oleh kecukupan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Kualitas tumbuh kembang bayi yang sempurna akan menjamin kesehatan bayi optimal yang ditandai oleh pencapaian ukuran normal berbagai dimensi fisik tubuh anak, daya tahan terhadap penyakit infeksi, kapasitas kerja dan tingkat kecerdasan yang maksimal sesuai dengan usia bayi. Kekurangan zat gizi, baik jenis maupun jumlahnya bukan hanya menyebabkan retardasi tumbuh kembang, tetapi juga meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas anak. Kekurangan zat gizi juga berdampak terhadap pematangan dan kesempurnaan fungsi berbagai organ tubuh, kendali gerak, kapasitas kerja, dan fungsi mental bayi. Reaksi yang rendah terhadap keadaan sekeliling, apatis, anak menjadi cengeng merupakan dampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan bayi akan berbagai zat gizi secara proporsional. Untuk meningkatkan kualitas tumbuh kembang bayi di perlukan penataan makanan yang baik dan tepat sehingga kebutuhan berbagai zat gizi terpenuhi secara proporsional (Moehyi, 2008).

Tidak ada komentar: