Minggu, 05 Februari 2012

PERMASALAHAN REMAJA INDONESIA

Remaja sebagai generasi muda merupakan aset nasional yang sangat penting karena pada pundaknya terletak tanggung jawab kelangsungan hidup bangsa. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dimana masa ini mengandung banyak perubahan alamiah baik secara langsung maupun tidak langsung yang berdampak pada berbagai permasalahan remaja. Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang mengalami pertumbuhan. Artinya, satu dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Jumlah ini menunjukkan permasalahan kependudukan secara umum dan permasalahan lain, khususnya kesehatan remaja akibat munculnya perilaku yang mengkwuatirkan (Soetjiningsih, 2007).

Masa remaja merupakan masa yang kritis, dimana mereka dihadapkan pada berbagai masalah, serta pada masa ini pula merupakan masa yang penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter remaja itu sendiri. Masa remaja sering dicirikan dengan berbagai masalah-masalah yang mungkin timbul akibat dari kenakalan remaja tersebut. Berbagai macam kenakalan tersebut ditunjukkan dalam berbagai hal seperti perkelahian secara perorangan atau kelompok, mabuk-mabukan, pemerasan, pencurian, perampokan, penganiayaan, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan obat-obatan seperti narkotik (narkoba) serta kenakalan remaja untuk mencari perhatian yang tidak didapatkan di rumah. Sehingga dengan keadaan ini akan sangat identik dengan kehidupan pada masa remaja.

Memasuki masa remaja, pada umumnya remaja merasa dirinya sudah besar, dalam artian bukan anak kecil lagi. Oleh karena itulah terkadang remaja cenderung susah untuk diatur, meskipun oleh orang tuanya sendiri. Menurut Samadi (2004), batas usia remaja berkisar antara 10-20 tahun, dimana pertumbuhan jasmani hampir selesai. Dalam masa ini, remaja berkembang ke arah kematangan seksual, menetapkan identitas sebagai individu yang terpisah dari keluarga, yang mana lebih dikenal dengan masa balig atau masa pubertas dan dengan perilaku seksual yang juga ikut mewarnai kehidupan para remaja. Pada remaja putri khususnya, masa ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya, namun secara psikologis kematangannya belum tercapai sepenuhnya.

Pada remaja putri, daya tarik seksualitas merupakan faktor yang kuat dan berpengaruh dalam kehidupan pribadinya. Dengan adanya pengaruh hormon terhadap perkembangan seksualitasnya, hal ini akan menyebabkan pula terjadinya perubahan perilaku khususnya perilaku seksual serta dorongan untuk pemenuhannya (Samadi, 2004). Menurut Puspitawati (2000), dengan adanya lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi pada masa remaja, hal ini merupakan salah satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lainnya. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.

Pada remaja seringkali seorang remaja termasuk remaja putri, mempunyai kecenderungan ingin mencoba hal-hal yang baru yang mereka lihat dan mereka dapatkan, meskipun terkadang mereka belum tahu pasti tentang hal-hal tersebut. Hal ini lebih kepada rasa keingintahuan dari remaja teramat besar dalam segala hal, dan salah satunya yang paling menonjol yaitu mengenai seks. Seringkali mereka menjadi tertarik untuk mencoba dan melakukan hubungan sex yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya sex bebas. Hal ini tentu sangat merugikan karena akan menimbulkan banyak dampak negatif dan permasalahan yang tidak dinginkan seperti meningkatnya kasus-kasus penyakit kelamin dan HIV, rusaknya hubungan keluarga, menjamurnya prostitusi, dan yang sangat penting dimana meningkatnya kasus kasus kehamilan diluar nikah dan kehamilan dini yang dialami oleh remaja tersebut. Hal ini akan dapat meningkatkan pula angka kematian ibu pada usia dini, angka kematian bayi, serta meningkatnya angka kejadian aborsi dikalangan remaja (Jusuf, 2006).

Perilaku seksual pada remaja pada umumnya dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dikalangan remaja telah merebak perilaku seksual yang menyimpang seperti dalam hasil survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2008 terhadap perilaku seksual remaja, sebanyak 63% remaja Indonesia usia SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Jumlah ini menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2005-2006 di Jabotabek, Medan, Bandung, Surabaya, dan Makassar, berkisar 47,54% remaja mengaku berhubungan seks sebelum nikah. Peningkatan ini, antara lain, disebabkan pergaulan hidup bebas, faktor lingkungan, keluarga, dan media massa. Dalam hasil penelitian yang dilakukan di berbagai kota lainnya di Indonesia yaitu diantaranya Kupang, Palembang, Sumatra Selatan, Tasikmalaya dan Jawa Barat juga menunjukkan perilaku yang tidak berbeda. Dari 1.388 responden dari kalangan remaja sebanyak 16,35% mengaku telah melakukan hubungan seks diluar nikah atau seks bebas. Sebanyak 42,5% responden di Kupang, melakukan hubungan seks diluar nikah dengan pasangannya, sedangkan 17% responden di Palembang, Sumatera Selatan, Tasikmalaya dan Jawa Barat, mengaku juga melakukan tindakan yang sama (BKKBN, 2008).

Dengan tingginya kejadian kasus di atas tidak semata dipengaruhi oleh faktor-faktor dari internal remaja itu sendiri, namun juga dapat didorong atau dimotivasi oleh beberapa faktor-faktor eksternal yaitu lingkungan remaja tersebut. Faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif dari individu yang bersangkutan. Sementara sikap permisif ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam suatu kelompok yang tidak permisif terhadap perilaku reproduksi sebelum menikah akan menekan anggotanya yang bersifat permisif. Dengan demikian kontrol sosial akan mempengaruhi sikap permisif terhadap kelompok tersebut.

Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada, baik itu di lingkungan keluarga, kelompok sebaya (peer group), agama, kontrol sosial, status ekonomi, penggunaan obat-obatan, kesediaan fasilitas serta frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja di antaranya adalah faktor keluarga. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi remaja itu sendiri, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial (Surbakti, 2009).

Terjadinya perilaku seks pranikah sangat tergantung pada wawasan remaja tentang perilaku tersebut (Djamaludin dalam BKKBN, 2008). Wawasan dan kepribadian mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya seperti pola asuh keluarga, sistem religi, budaya, ekonomi, sosial politik, atau pendidikan (Surbakti, 2009). Namun Remaja yang mempunyai wawasan dan berkepribadian yang mantap sangat dipengaruhi oleh pola asuh atau cara pendidikan yang diterapkan dalam keluarga. Orang tua dapat saja menerapkan berbagai pola asuh yang dapat diterapkan dalam kehidupan keluarganya tersebut. Apabila pola asuh yang diterapkan orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, akan tetapi akan dapat mengarahkan anak kearah perilaku yang negatif.

Menurut Clemes (2001), bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa seorang individu sejak awal, yaitu pada masa ia masih anak-anak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam pembentukan kepribadian anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa.

Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya (Mahdi, 2002). Dalam penerapannya pola asuh orang tua yang satu dengan yang lainnya akan berbeda-beda. Ada yang menerapkan dengan pola yang cenderung memberikan kebebasan. Namun, ada pula yang memakai pola asuh yang lemah lembut dan kasih sayang, serta tidak sedikit diantaranya juga terdapat orang tua dengan mendidik anaknya seperti militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter).

Orang tua seharusnya dapat memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan dan perilaku anak. Tentu saja orang tua diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau tidak menerapkan pola asuh yang membawa kearah yang berdampak negatif bagi anak. Anak yang dididik dengan cara yang baik akan melahirkan remaja dengan moral yang baik pula. Demikian juga orang tua yang bersikap keras dan yang memberikan kebebasan penuh menjadi pendorong bagi anak yang cenderung untuk berperilaku bebas (Shochib, 2000).

Selain itu salah satu faktor penting dalam keluarga yang juga berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja adalah adanya pergeseran bentuk rumah tangga. Untuk alasan-alasan tertentu sekarang banyak rumah tangga yang hanya terdiri dari satu keluarga inti saja. Banyak keluarga-keluarga baru yang membuat rumah terpisah dari keluarga luasnya. Misalnya dengan alasan agar lebih dekat dari tempat bekerja. Hal ini akan menyebabkan remaja kurang mendapatkan perhatian dan kontrol dari anggota keluarga yang lainnya, sehingga keadaan ini dapat memicu dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan remaja mempunyai kesempatan untuk melakukan hubungan seks pranikah di rumah mereka sendiri. Berbagai kemelut permasalahan remaja saat ini sangat memprihatinkan. Semoga permasalahan ini bisa menjadi renungan dan perhatian semua kalangan baik pemerintah maupun masyarakat.

Tidak ada komentar: