Rabu, 20 Juni 2012

DESTIGMATISASI GANGGUAN JIWA

 Menurut WHO, orang yang sehat secara jiwa adalah orang yang merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan kehidupan, menerima orang lain sebagaimana adanya, dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Dalam kenyataannya, di masyarakat yang semakin berkembang terutama masyarakat urban di perkotaan, semakin banyak orang yang memiliki jiwa yang tidak sehat walaupun belum mencapai taraf gangguan jiwa. Jika dibiarkan dan tidak diintervensi dengan baik maka jiwa yang tidak sehat akan menimbulkan gangguan jiwa dalam jangka waktu yang signifikan.
Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberi dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan tersebut. Akibatnya, gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari jika mereka mungkin mengalami masalah kesehatan jiwa, karena masalah kesehatan jiwa bukan hanya gangguan jiwa berat saja. Justru gejala seperti depresi dan cemas kurang dikenali masyarakat sebagai masalah kesehatan jiwa.
Tekanan hidup yang menghimpit dan kegelapan masa depan menyebabkan banyak masyarakat menderita sakit jiwa mulai dari ringan sampai berat. Hal yang paling memilukan hati tingginya angka bunuh diri disertai pembunuhan terhadap anak yang mereka kasihi. Kasus yang sudah semakin prevalen ini perlu menjadi perhatian kita, terutama Pemerintah dan Departemen terkait, untuk ditangani secara seksama agar tidak menjadi semakin memburuk.
Gangguan jiwa walaupun tidak langsung menyebabkan kematian, namun akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban berat bagi keluarga, baik mental maupun materi karena penderita menjadi kronis dan tidak lagi produktif
Untuk mengetahui besarnya masalah gangguan jiwa di masyarakat, Departemen Kesehatan pada tahun 2007 dengan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) telah melakukan studi di setiap provinsi tentang Gangguan Mental Emosional pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Instrumen yang digunakan self-rating questionaire – 20 dengan cut off point > 6. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia yaitu 1,6.
 Menurut Prayitno, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization yang dihimpun tahun 2005-2007 sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri. Jumlah kematian itu belum termasuk kematian akibat overdosis obat terlarang yang mencapai 50 ribu orang setiap tahun. Prayitno mengungkapkan, dari jumlah tersebut, 41% bunuh diri dilakukan dengan cara gantung diri dan 23% dengan cara meminum racun serangga.
Keadaan gangguan jiwa di masyarakat diperparah dengan stigma yang dialami oleh si penderitanya. Berbagai istilah banyak ditemukan di masyarakat dan digunakan dalam pemberitaan media massa, misalnya orang gila, sakit gila, sakit jiwa, semua ini bukan istilah psikiatri dan sebaiknya dibiasakan untuk tidak menggunakannya.
Stigmatisasi gangguan jiwa sebenarnya merugikan masyarakat sendiri, karena mereka menjadi cenderung menghindar dari segala sesuatu yang berurusan dengan gangguan jiwa. Seakan-akan mereka yang terganggu jiwanya tergolong kelompok manusia lain yang lebih rendah martabatnya, yang dapat dijadikan bahan olok-olokan. Hal tersebut akan menghambat seseorang untuk mau menerima atau mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan mental. Akibatnya pertolongan atau terapi yang mungkin dapat dilakukan secara dini menjadi terlambat. Kita lupa atau tidak ingin menerima kenyataan sebenarnya bahwa semua orang dapat mengalami gangguan jiwa dalam berbagai taraf, misal keadaan depresi akibat stres berkepanjangan sampai pada kekacauan pikiran.
Keperawatan jiwa merupakan bentuk pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu keperawatan jiwa bentuk pelayanan Bio-Psiko-Sosio-Spritual yang komperhensif. Klien dapat berupa individu, keluarga dan komunitas baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Bentuk Asuhan keperawatan jiwa meliputi pencegahan primer adalah pendidikan kesehatan, pengubahan lingkungan dan dukungan sistem sosial.
Keluarga dan masyarakat sebagai orang terdekat dengan klien merupakan sistem pendukung utama dalam memberikan pelayanan langsung pada saat klien berada dirumah maupun saat klien berada dilingkungan masyarakat. Oleh karena itu keluarga dan masyarakat memiliki peran penting didalam upaya penanganan penyakit pada klien jiwa dan bisa ikut berperan dalam menyikapi stigmatisasi gangguan jiwa dengan benar
Melihat fenomena diatas, maka keluarga dan masyarakat perlu mempunyai pemahaman mengenai cara perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa secara benar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perawat dapat melaksanakan penyuluhan guna memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga dan masyarakat tentang stigma gangguan kejiwaan dimasyarakat.

1 komentar:

JUAL ALAT BEKAM mengatakan...

Gangguan jiwa...! jiwa terganggu...!
Galau...karena tak punya ilmu.
[jual alat bekam]